kali ini menceritakan pengalaman Sex
antara Seorang Pria dan pegawai salon plus-plus. Dimana kisah ini
berawal dari pertemuan mereka diangkot, dan dilanjutkan di salon dimana
wanita itu bekerja. Pada akhirnya mereka berdua melakukan hubungan
suami istri di salon dimana wanita itu bekerja. Mau tahu kelanjutan
ceritanya, Langsung aja yuk baca dan simak baik baik cerita dewasa ini.
Cuaca Ibu kota negara kita ini terasa begitu panas, hal ini menambah
hawa panas suasana di dalam angkot. Saat itu kurang lebih 5 menit lagi
aku sampai kantorku, berhubung kerjaan hari ini sudah kukerjakan
semalam, maka aku memutuskan untuk meneruskan perjalanku dengan angkot
ini, lagdian masih ada waktu luang 2 jam lagi. Ketika angin yang tertiup
dari sela jendela angkot sedang kunikmati, terciumlah aroma khas
seorang wanita, bau dari wanita setengah baya memang agak lain, tetapi
aroma ini mampu membuat seorang prdia menerawang hingga jauh ke alam
yang belum pernah pria rasakan. Ketika aku sedang menikmati aroma badan
wanita itu, aku terkagetkan oleh ucapan wanita itu,
“ Dek.., tolong dong jendelanya ditutup sedikit, jangan dibuka
lebar-lebar , nanti saya bisa masuk angin ”, kata seorang wanita
setengah baya di depanku pelan.
Aku sejenak terdiam, dan bengong memperhatikan wanita setengah baya itu,
“ Eh dek, denger nggak sih, jendelanya tolong dirapetin sedikit.., ” katanya lagi.
“ I…i … Ini mksdnya …? ” kataku.
“ Iya itu, bener … ”
Seketika itu juga aku menutup jendela angkot dan melihat kearahnya lagi,
“ Terima kasih, ” ucapnya.
“ I… i… iya sama-sama ” balasku,
Sebenenarnya aku ingin sekali ada bahan yang yang bisa kami omongkan
lagi, agar aku tidak perlu curi-curi pandang kepadanya. Ketika itu
pandagan mataku aku melirik kearah lehernya, tiba-tiba saja mataku
terarah dadanya yang terbuka cukup lebar yang memperlihatkan belahan
payudaranya. Sebenarnya aku belum pernah bicara di angkot dengan seorang
wanita, apalagi separuh baya lagi. Kalau kini aku berani pasti karena
dadanya terbuka, pasti karena peluhnya yang membasahi leher, pasti
karena aku terlalu terbuai lamunan. Dia malah melengos. . Lalu asyik
membuka tabloid. . Aku tidak dapat lagi memandanginya. Kantorku sudah
terlewat. Aku masih di atas angkot. Perempuan paruh baya itu pun masih
duduk di depanku. Masih menutupi diri dengan tabloid.
Tidak lama wanita itu mengetuk langit-langit angkot. Sopir menepikan
kendaraan persis di depan sebuah salon. Aku perhatikan dia sejak bangkit
hingga turun. Angkot bergerak pelan, aku masih melihat ke arahnya,
untuk memastikan ke mana arah wanita itu. ketika aku mengikuti dia
tersenyum, menantang dengan mata genit sambil mendekati pintu salon.
Dalm fikiranku bertanya tanya, Dia kerja di sana, ataukah dia mau
kesalon itu. Matanya dikedipkankan, bersamaan masuknya angkot lain di
belakang angkotku tadi. Sungguh,dadaku tiba-tiba berdetak kencang
sekali,
“ Bang, Bang kiri Bang..! ”
Semua penumpang menoleh ke arahku. Apakah suaraku mengganggu ketenangan mereka ?,
“ Pelan-pelan suaranya kan bisa Dek, ” sang supir menggerutu sambil memberikan kembaldian.
Aku membalik arah lalu berjalan cepat, penuh semangat. Satu dua, satu
dua. Yes.., akhirnya. Namun, tiba-tiba keberandianku hilang. Apa katanya
nanti ? Apa yang aku harus bilang, lho tadi kedip-kedipin mata,
maksudnya apa ? Mendadak jari tanganku dingin semua. Wajahku merah
padam. Lho, salon kan tempat umum. Semua orang bebas masuk asal punya
uang. Bodoh amat. Come on lets go! Langkahku semangat lagi. Pintu salon
kubuka.
“ Selamat siang Mas, ” kata seorang penjaga salon,
“ Potong, creambath, facial atau massage (pijat)..? ”
“ Massage, boleh. ” ujarku sekenanya.
Aku dibimbing ke sebuah ruangan. Ada sekat-sekat, tidak tertutup
sepenuhnya. Tetapi sejak tadi aku tidak melihat wanita yang lehernya
berkeringat yang tadi mengerlingkan mata ke arahku. Ke mana dia ? Atau
jangan-jangan dia tidak masuk ke salon ini, hanya pura-pura masuk. Ah.
Shit! Aku tertipu. Tapi tidak apa-apa toh tipuan ini membimbingku ke
alam lain. Dulu aku paling anti masuk salon. Kalau potong rambut ya
masuk ke tukang pangkas di pasar. Ah.., wanita yang lehernya berkeringat
itu begitu besar mengubah keberandianku,
“ Buka bajunya, celananya juga, ” ujar wanita tadi manja menggoda,
“ Nih pake celana ini..! ”
Aku disodorkan celana pantai tapi lebih pendek lagi. Bahannya tipis,
tapi baunya harum. Garis setrikaannya masih terlihat. Aku menurut saja.
Membuka celanaku dan bajuku lalu gantung di kapstok. Ada dipan kecil
panjangnya dua meter, lebarnya hanya muat badanku dan lebih sedekit.
Wanita muda itu sudah keluar sejak melempar celana pijit. Aku tiduran
sambil baca majalah yang tergeletak di rak samping tempat tidur kecil
itu. Sekenanya saja kubuka halaman majalah.
“ Tunggu ya..! ” ujar wanita tadi dari jauh, lalu pergi ke balik ruangan ke meja depan ketika dia menerima kedatanganku.
“ Mbak Fera.., udah ada pasien tuh, ” ujarnya dari ruang sebelah. Aku jelas mendengarnya dari sini.
Kembali ruangan sepi. Hanya suara kebetan majalah yang kubuka cepat yang
terdengar selebihnya musik lembut yang mengalun dari speaker yang
ditanam di langit-langit ruangan.
Langkah sepatu hak tinggi terdengar, pletak-pletok-pletok. Makin lama
makin jelas. Dadaku mulai berdegup lagi. Wajahku mulai panas. Jari
tangan mulai dingin. Aku makin membenamkan wajah di atas tulisan
majalah.
“ Halo..! ” suara itu mengagetkanku.
Hah… Suara itu lagi. Suara yang kukenal, itu kan suara yang meminta aku
menutup kaca angkot. Dadaku berguncang. Haruskah kujawab sapaan itu ?
Oh.., aku hanya dapat menunduk, melihat kakinya yang bergerak ke sana ke
mari di ruangan sempit itu. Betisnya mulus ditumbuhi bulu-bulu halus.
Aku masih ingat sepatunya tadi di angkot. Hitam. Aku tidak ingat
motifnya, hanya ingat warnanya.
“ Mau dipijat atau mau baca, ” ujarnya ramah mengambil majalah dari hadapanku,
“ Ayo tengkurap..!!! ”
Tangannya mulai mengoleskan cream ke atas punggungku. Aku tersetrum.
Tangannya halus. Dingin. Aku kegeldian menikmati tangannya yang menari
di atas kulit punggung. Lalu pijitan turun ke bawah. Dia menurunkan
sedekit tali kolor sehingga pinggulku tersentuh. Dia menekan-nekan agak
kuat. Aku meringis menahan sensasasi yang waow..! Kini dia pindah ke
selangkangan, agak berani dia masuk sedekit ke selangkangan. Aku
meringis merasai sentuhan kulit jarinya. Tapi belum begitu lama dia
pindah ke betis.
“ Balik badannya..! ” pintanya.
Aku membalikkan badanku. Lalu dia mengolesi dadaku dengan cream. Pijitan
turun ke perut. Aku tidak berani menatap wajahnya. Aku memandang ke
arah lain mengindari adu tatap. Dia tidak bercerita apa-apa. Aku pun
segan memulai cerita. Dipijat seperti ini lebih nikmat diam meresapi
remasan, sentuhan kulitnya. Bagiku itu sudah jauh lebih nikmat daripada
bercerita. Dari perut turun ke selangkangan. Ah, selangkanganku disentuh
lagi, diremas, lalu dia menjamah betisku, dan selesai. Dia berlalu ke
ruangan sebelah setelah membereskan cream. Aku hanya ditinggali handuk
kecil hangat. Kuusap sisa cream. Dan kubuka celana pantai. Astaga. Ada
cairan putih di celana dalamku. Di kantor, aku masih terbayang-bayang
wanita yang di lehernya ada keringat. Masih terasa tangannya di
punggung, dada, perut, selangkangan. Aku tidak tahan.
Esoknya, dari rumah kuitung-itung waktu. Agar kejadian kemarin terulang.
Jam berapa aku berangkat. Jam berapa harus sampai di Ciledug, jam
berapa harus naik angkot yang penuh gelora itu. Ah, Aku terlambat
setengah jam. Padahal, wajah wanita setengah baya yang di lehernya ada
keringat sudah terbayang. Ini gara-gara ibuku menyuruh pergi ke rumah
Tante Eni. Bayar arisan. Tidak apalah hari ini tidak ketemu. Toh masih
ada hari esok. Aku bergegas naik angkot yang melintas. Toh, si setengah
baya itu pasti sudah lebih dulu tiba di salonnya. Aku duduk di belakang,
tempat favorit. Jendela kubuka. Angkot melaju. Angin menerobos kencang
hingga seseorang yang membaca tabloid menutupi wajahnya terganggu.
By www.premier188.com
JUDI ONLINE TERPERCAYA
MENANG BERAPA PUN KAMI PASTI BAYAR
PROMO s/d akhir JUNI
FIRST DEPOSIT DAPAT TAMBAHAN KREDIT 15%
CASHBACK 6%
ROLLINGAN 0,25X3
ROLLINGAN CASINO 0,7%
MEMBER GET MEMBER 5%
Syarat dan ketentuan belaku
info lebih lanjut
BBM : D8A4BF4A
WA : +639772793847
LINE : premier188
YM : premier188@yahoo.com
“ Mas Tut.. ” hah..? suara itu lagi, suara wanita setengah baya yang
kali ini karena mendung tidak lagi ada keringat di lehernya. Dia tidak
melanjutkan kalimatnya.
Aku tersenyum. Dia tidak membalas tapi lebih ramah. Tidak pasang wajah perangnya.
“ Kayak kemarinlah.., ” ujarnya sambil mengangkat tabloid menutupi wajahnya.
Begitu kebetulankah ini? Keberuntungankah? Atau kean, karena dia masih
mengangkat tabloid menutupi wajah? Aku kira aku sudah terlambat untuk
bisa satu angkot dengannya. Atau jangan-jangan dia juga disuruh ibunya
bayar arisan. Aku menyesal mengutuk ibu ketika pergi. Paling tidak ada
untungnya juga ibu menyuruh bayar arisan.
“ Mbak Fera.., ” gumamku dalam hati.
Perlu tidak ya kutegur? Lalu ngomong apa? Lha wong Mbak Fera menutupi
wajahnya begitu. Itu artinya dia tidak mau diganggu. Mbak Fera sudah
turun. Aku masih termangu. Turun tidak, turun tidak, aku hitung kancing.
Dari atas: Turun. Ke bawah: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah lagi:
Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Hah
habis kancingku habis. Mengapa kancing baju cuma tujuh?
Hah, aku ada ide: toh masih ada kancing di bagian lengan, kalau belum
cukup kancing Bapak-bapak di sebelahku juga bisa. Begini saja daripada
repot-repot. Anggap saja tdiap-tdiap baju sama dengan jumlah kancing
bajuku: Tujuh. Sekarang hitung penumpang angkot dan supir. Penumpang
lima lalu supir, jadi enam kali tujuh, 42 hore aku turun. Tapi eh..,
seorang penumpang pakai kaos oblong, mati aku. Ah masa bodo. Pokoknya
turun.
“ Kiri Bang..! ”
Aku lalu menuju salon. Alamak.., jauhnya. Aku lupa kelamaan menghitung
kancing. Ya tidak apa-apa, hitung-hitung olahraga. Hap. Hap.
“ Mau pijit lagi..? ” ujar suara wanita muda yang kemarin menuntunku menuju ruang pijat.
“ Ya. ”
Lalu aku menuju ruang yang kemarin. Sekarang sudah lebih lancar. Aku
tahu di mana ruangannya. Tidak perlu diantar. Wanita muda itu mengikuti
di belakang. Kemudian menyerahkan celana pantai.
“ Mbak Fera, pasien menunggu, ” katanya.
Majalah lagi, ah tidak aku harus bicara padanya. Bicara apa? Ah apa
saja. Masak tidak ada yang bisa dibicarakan. Suara pletak-pletok
mendekat.
“ Ayo tengkurap..! ” kata wanita setengah baya itu.
Aku tengkurap. Dia memulai pijitan. Kali ini lebih bertenaga dan aku memang benar-benar pegal, sehingga terbuai pijitannya.
“ Telentang..! ” katanya.
Kuputuskan untuk berani menatap wajahnya. Paling tidak aku dapat melihat
leher yang basah keringat karena kepayahan memijat. Dia cukup lama
bermain-main di perut. Sesekali tangannya nakal menelusup ke bagian tepi
celana dalam. Tapi belum tersentuh kepala kejantanankuku. Sekali. Kedua
kali dia memasukkan jari tangannya. Dia menyenggol kepala
kejantanankuku. Dia masih dingin tanpa ekspresi. Lalu pindah ke pangkal
selangkangan. Ah mengapa begitu cepat. Jarinya mengelus tdiap mili
selangkanganku. Kejantananku sudah mengeras. Betul-betul keras. Aku
masih penasaran, dia seperti tanpa ekspresi. Tetapi eh.., diam-diam dia
mencuri pandang ke arah kejantananku. Lama sekali dia memijati pangkal
selangkanganku. Seakan sengaja memainkan Kejantananku. Ketika
Kejantananku melemah dia seperti tahu bagaimana menghidupkannya, memijat
tepat di bagian pangkal selangkangan.
Lalu dia memijat lutut. Kejantananku melemah. Lalu dia kembali memijat
pangkal selangkanganku. Ah an, aku dipermainkan seperti anak bayi.
Selesai dipijat dia tidak meninggalkan aku. Tapi mengelap dengan handuk
hangat sisa-sisa cream pijit yang masih menempel di badanku. Aku duduk
di tepi dipan. Dia membersihkan punggungku dengan handuk hangat. Ketika
menjangkau pantatku dia agak mendekat. Bau badannya tercium. Bau badan
wanita setengah baya yang yang meleleh oleh keringat. Aku pertegas bahwa
aku mengendus kuat-kuat aroma itu. Dia tersenyum ramah. Eh bisa juga
wanita setengah baya ini ramah kepadaku.Lalu dia membersihkan
selangkanganku sebelah kiri, ke pangkal selangkangan.
Ketika Kejantananku berdenyut-denyut, Sengaja kuperlihatkan agar dia
dapat melihatnya. Di balik kain tipis, celana pantai ini dia sebetulnya
bisa melihat arah turun naik Kejantananku. Kini pindah ke selangkangan
sebelah kanan. Dia tepat berada di tengah-tengah. Aku tidak menjepit
badannya. Tapi kakiku saja yang seperti memagari badannya. Aku
membayangkan dapat menjepitnya di sini. Tetapi, bayangan itu terganggu.
Terganggu wanita muda yang di ruang sebelah yang kadang-kadang tanpa
tujuan jelas bolak-balik ke ruang pijat. Dari jarak yang begitu dekat
ini, aku jelas melihat wajahnya. Tidak terlalu ayu. Hidungnya tidak
mancung tetapi juga tidak pesek. Bibirnya sedang tidak terlalu sensual.
Nafasnya tercium hidungku. Ah segar. Payudara itu dari jarak yang cukup
dekat jelas membayang. Cukuplah kalau tanganku menyergapnya. Dia terus
mengelap selangkanganku. Dari jarak yang dekat ini hawa panas badannya
terasa. Tapi dia dingin sekali. Membuatku tidak berani. Ciut.
Kejantananku tiba-tiba juga ikut-ikutan ciut. Tetapi, aku harus berani.
Toh dia sudah seperti pasrah berada di dekapan kakiku. Aku harus, harus,
harus..! Apakah perlu menhitung kancing. Aku tidak berpakaian kini.
Lagi pula percuma, tadi saja di angkot aku kalah lawan kancing. Aku
harus memulai. Lihatlah, masak dia begitu berani tadi menyentuh kepala
Kejantananku saat memijat perut. Ah, kini dia malah berlutut seperti
menunggu satu kata saja dariku.
Dia berlutut mengelap selangkangan bagian belakang. Kaki kusandarkan di
tembok yang membuat dia bebas berlama-lama membersihkan bagian belakang
selangkanganku. Mulutnya persis di depan Kejantananku hanya beberapa
jari. Inilah kesempatan itu. Kesempatan tidak akan datang dua kali. Ayo.
Tunggu apa lagi. Ayo cepat dia hampir selesai membersihkan belakang
selangkangan. Ayo..! Aku masih diam saja. Sampai dia selesai mengelap
bagian belakang selangkanganku dan berdiri. Ah bodoh. Benarkan
kesempatan itu lewat. Dia sudah membereskan peralatan pijat. Tapi
sebelum berlalu masih sempat melihatku sekilas.
Betulkan, dia tidak akan datang begitu saja. Badannya berbalik lalu
melangkah. Pletak, pletok, sepatunya berbunyi memecah sunyi. Makin lama
suara sepatu itu seperti mengutukku bukan berbunyi pletak pelok lagi,
tapi bodoh, bodoh, bodoh sampai suara itu hilang. Aku hanya mendengus.
Membuang napas. Sudahlah. Masih ada esok. Tetapi tidak lama, suara
pletak-pletok terdengar semakin nyaring. Dari iramanya bukan sedang
berjalan. Tetapi berlari. Bodoh, bodoh, bodoh. Eh.., kesempatan,
kesempatan, kesempatan. Aku masih mematung. Duduk di tepi dipan. Kaki
disandarkan di dinding. Dia tersenyum melihatku.
“ Maaf Mas, sapu tangan saya ketinggalan, ” katanya.
Dia mencari-cari. Di mana? Aku masih mematung. Kulihat di bawahku ada kain, ya seperti saputangan.
“ Itu kali Mbak, ” kataku datar dan tanpa tekanan.
Dia berjongkok persis di depanku, seperti ketika dia membersihkan
selangkangan bagian bawah. Ini kesempatan kedua. Tidak akan hadir
kesempatan ketiga. Lihatlah dia tadi begitu teliti membenahi semua
perlatannya. Apalagi yang dapat tertinggal? Mungkin sapu tangan ini saja
suatu kealpaan. Ya, seseorang toh dapat saja lupa pada sesuatu, juga
pada sapu tangan. Karena itulah, tidak akan hadir kesempatan ketiga.
Ayo..!
“ Mbak.., selangkanganku masih sakit nih..! ” kataku memelas, ya sebagai
alasan juga mengapa aku masih bertahan duduk di tepi dipan.
Dia berjongkok mengambil sapu tangan. Lalu memegang selangkanganku,
“ Yang mana..? ”
Yes..! Aku berhasil.
“ Ini.., ” kutunjuk pangkal selangkanganku.
“ Besok saja Sayang..! ” ujarnya.
Dia hanya mengelus tanpa tenaga. Tapi dia masih berjongkok di bawahku.
“ Yang ini atau yang itu..? ” katanya menggoda, menunjuk Kejantanankuku.
Darahku mendesir. Kejantanankuku tegang seperti mainan anak-anak yang dituip melembung. Keras sekali.
“ Jangan cuma ditunjuk dong, dipegang boleh. ”
Dia berdiri. Lalu menyentuh Kejantananku dengan sisi luar jari
tangannya. Yes, Aku bisa dapatkan dia, wanita setengah baya yang meleleh
keringatnya di angkot karena kepanasan. Dia menyentuhnya. Kali ini
dengan telapak tangan. Tapi masih terhalang kain celana. Hangatnya,
bdiar begitu, tetap terasa. Aku menggelepar.
“ Sst..! Jangan di sini..! ” katanya.
Kini dia tidak malu-malu lagi menyelinapkan jemarinya ke dalam celana
dalamku. Lalu dekocok-kocok sebentar. Aku memegang teteknya. Bibirku
melumat bibirnya.
“ Jangan di sini Sayang..! ” katanya manja lalu melepaskan sergapanku.
“ Masih sepi ini..! ” kataku makin berani.
Kemudian aku merangkulnya lagi, menyiuminya lagi. Dia menikmati, tangannya mengocok Kejantananku.
“ Besar ya..? ” ujarnya.
Aku makin bersemangat, makin membara, makin terbakar. Wanita setengah
baya itu merenggangkan bibirnya, dia terengah-engah, dia menikmati
dengan mata terpejam.
“ Mbak Fera telepon.., ” suara wanita muda dari ruang sebelah menyalak, seperti bel dalam pertarungan tinju.
Mbak Fera merapihkan pakaiannya lalu pergi menjawab telepon.
“ Ngapadian sih di situ..? ” katanya lagi seperti iri pada Fera.
Aku mengambil pakaianku. Baru saja aku memasang ikat pinggang, Fera menghampiriku sambil berkata,
“ Telepon aku ya..! ”
Dia menyerahkan nomor telepon di atas kertas putih yang disobek
sekenanya. Pasti terburu-buru. Aku langsung memasukkan ke saku baju
tanpa mencermati nomor-nomornya. Nampak ada perubahan besar pada Fera.
Dia tidak lagi dingin dan ketus. Kalau saja, tidak keburu wanita yang
menjaga telepon datang, dia sudah melumat Kejantananku. Lihat saja dia
sudah separuh berlutut mengarah pada Kejantananku. Untung ada tissue
yang tercecer, sehingga ada alasan buat Fera. Dia mengambil tissue itu,
sambil mendengar kabar gembira dari wanita yang menunggu telepon. Dia
hanya menampakkan diri separuh badan.
“ Mbak Fera.., aku mau makan dulu. Jagain sebentar ya..! ”
Ya itulah kabar gembira, karena Fera lalu mengangguk. Setelah mengunci
salon, Fera kembali ke tempatku. Hari itu memang masih pagi, baru pukul
11.00 siang, belum ada yang datang, baru aku saja. Aku menanti dengan
debaran jantung yang membuncah-buncah. Fera datang. Kami seperti tidak
ingin membuang waktu, melepas pakaian masing-masing lalu memulai
pergumulan. Fera menjilatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku
menikmati kelincahan lidah wanita setengah baya yang tahu di mana
titik-titik yang harus dituju. Aku terpejam menahan air mani yang sudah
di ujung. Bergantdian Fera kini telentang.
“ Pijit saya Mas..! ” katanya melenguh.
Kujilati payudaranya, dia melenguh. Lalu Kewanitaannya, basah sekali.
Dia membuncah ketika aku melumat klitorisnya. Lalu mengangkang.
“ Aku sudah tak tahan, ayo dong..! ” ujarnya merajuk.
Saat kusorongkan Kejantananku menuju kewanitaannya, dia melenguh lagi.
“ Ah.. Sudah tiga tahun, benda ini tak kurasakan Sayang. Aku hanya main
dengan tangan. Kadang-kadang ketimun. Jangan dimasukkan dulu Sayang, aku
belum siap. Ya sekarang..! ” pintanya penuh manja.
Tetapi mendadak bunyi telepon di ruang depan berdering. Kring..! Aku mengurungkan niatku. Kring..!
“ Mbak Fera, telepon. ” kataku.
Dia berjalan menuju ruang telepon di sebelah. Aku mengikutinya. Sambil menjawab telepon di kursi dia menunggingkan pantatnya.
“ Ya sekarang Sayang..! ” katanya.
“ Halo..? ” katanya sedekit terengah.
“ Oh ya. Ya nggak apa-apa, ” katanya menjawab telepon.
“ Siapa Mbak..? ” kataku sambil menancapkan Kejantananku amblas seluruhnya.
“ Si Dila, yang tadi. Dia mau pulang dulu menjenguk orang tuanya sakit katanya sih begitu, ” kata Fera.
Setelah beberapa lama menyodoknya, “ Terus dong Yang. Auhh aku mau keluar ah.., Yang tolloong..! ” dia mendesah keras.
Lalu dia bangkit dan pergi secepatnya.
“ Yang.., cepat-cepat berkemas. Sebentar lagi Mbak Mirna yang punya salon ini datang, bdiasanya jam segini dia datang. ”
Kemudian akupun bergegas untuk merapikan diri dan bersiap keluar dari
salon itu. Singkat cerita dalam perjalanan pulang aku terbayang-bayang
oleh kejadian tadi, sungguh hari ini hari yang sangat sehat. Selesai.
No comments:
Post a Comment